Selasa, 07 Oktober 2014

Bisakah Kita Meniru Akhlak Orang-orang Shaleh Terdahulu?





Bisakah Kita Meniru Akhlak Orang-orang Shaleh Terdahulu?

Ibnu Umar  pernah berkata kepada seseorang, “Apakah engkau takut masuk neraka dan ingin masuk surga?” “Tentu,” jawab laki-laki itu. Kata Ibnu Umar, “Kalau begitu, berbaktilah kepada ibumu. Demi Allah, kalau engkau berbicara kepadanya dengan lembut dan memberinya makan, niscaya engkau akan masuk surga, selama hal-hal yang menyebabkanmu masuk neraka engkau hindari.” (Jami’al Ulum wa al-Hikam, II/176)

Dawud ibn Qays mengatakan’ “ Abu Hurairah meriwayatkan kepadaku bahwa setiap kali mau meninggalkan rumahnya, setelah mengenakan pakainnya, Abu Hurairah selalu menghadap ibunya seraya berkata, ‘Assala’mu’alaykum wa rahmatullah wa barakatuh (Semoga engkau mendapatkan keselamatan, rahmah, dan berkah dari Allah). Semoga engkau mendapat balasan yang baik dari Allah karena aku, seperti kebaikan yang aku dapatkan tatkala engkau merawatku semasa kecil.’ Ibunya menjawab, ‘Sama-sama, wahai anakku. Mudah-mudahan engkau mendapat balasan yang baik dari Allah karena aku, seperti yang aku rasakan tatkala engkau berbakti kepadaku setelah aku lanjut usia.’ Setelah itu barulah Abu Hurairah pergi meninggalkan rumahnya. Ketika pulang kata-kata yang indah tersebut keluar lagi dari mulutnya.’” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Al-Adab al-Mufrad – hadits hasan)

Sulaiman at-Tamimi meriwayatkan dari ibnu Mas’ud yang maskudnya adalah Sa’d: : Aku berkata kepada Ibnu Abbas, ‘Aku ini seorang laki-laki yang punya semangat tinggi untuk berjihad. Semua orang dari kaumku pernah ikut berjihad,  kecuali orang tuaku. Orang tuaku (baca: bapakku) enggan untuk berjihad.” Mendengar hal itu, Ibnu Abbas berkata, “Bagi seseorang yang masih memiliki orang tua, jika setiap bangun pagi dia memperlakukan mereka dengan baik (Sa’d memotong pembicaraannya dengan bertanya, ‘Kepada mereka berdua?’ ‘Ya,’ jawab Ibnu ‘Abbas) niscaya Allah membukakan dua pintu surga untuknya. Jika menjelang sore dia masih memperlakukan mereka dengan baik, niscaya Allah membukakan untuknya dua pintu lagi. Apabila orang tuanya hanya tinggal satu, dan setiap pagi dia memperlakukannya dengan baik, niscaya Allah membukakan untuknya satu pintu surga. Dan jika sore harinya dia memperlakukannya dengan baik pula, maka Allah akan membukakan untuknya satu pintu lagi. Jangan membuat salah satu diantara mereka marah. Allah ‘Azza wa Jalla’ akan meridhainya, bila orang tuanya ridha.” (Diriwiyatkan oleh al-Bukhari dalam Al-Adab al-Mufrad; Abdurrazaq dalam Al-Mushannaf, XI/135; dan Hanad dalam az-Zuhd hal.993)

Mundzir ats-Tsauri meriwayatkan, “Muhammad ibn al-Hanafiyah tidak sungkan-sungkan untuk merapikan rambut ibunya.” (Al-Birr wash-Shillah, 34. Perawi-perawi cerita ini tsiqah/terpercaya) Abdullah ibn Ja’far ibn Khaqan al-Marwazi-Muhammad ibn Basyir ibn Utsman-mengatakan, “Setelah menghimpun hadits yang ada di Bashrah, aku berencana pergi. Namun ibuku tidak menizinkan. Aku pun menurutinya. Ternyata itu membawa berkah bagiku,” (Syar A’’lam an-Nubala, XII/145)

Ja’far al-Khalid mengatakan, “Ahmad ibn ‘Ali ibn Muslim, yang dikenal dengan nama al-Abrar, salah seorang ulama hadits di Baghdad, adalah salah satu di antara orang yang paling zuhud. Suatu kali dia meminta izin kepada ibunya untuk pergi menemui Qutaibah. Ibunya tidak mengizinkan, dan setelah itu meninggal. Tidak lama kemudian, al-Abrar pergi ke Khurasan dan melanjutkan ke Balkha. Sesampainya di sana, ternyata Qutaibah telah meninggal. Dengan meninggalnya Qutaibah, orang-orang menjadi kagum kepadanya. Katanya, ‘Itulah buah dari ilmu. Jika aku disuruh memilih, maka yang akan kupilih adalah keridhaan ibuku.’” Syar A’’lam an-Nubala, XIII/443)

Zaid mengatakan, “Aku bertanya kepada Hasan al-Bashri, ‘Apa permohonan baik seorang ibu untuk anaknya?’ Dia menjawab, ‘Keselamatan.’ Aku bertanya lagi, ‘Kalau begitu apa permohonan jeleknya?’ Dia menjawab, ‘Kecelakaannya.’”

Suatu kali Ibnu ‘Abbas ditanya tentang seorang suami yang membunuh istrinya, “Apa bentuk taubat yang cocok baginya?” Dia menjawab, “Jika dia masih mempunyai orang tua, berbaktilah kepada mereka. Mudah-mudahan dengan itu Allah mengampuninya.” Jawaban serupa dia berikan kepada seorang wanita yang mempelajari sihir, yang menanyakan apa bentuk taubat yang cocok untuknya. (Bahjah al-Majalis, hal.785. Jawaban serupa juga diberikan Umar – Jami’al Ulum wa al-Hikam, II/184)

Makhul al-Tabi’I al-Jalil mengatakan, “Berbakti kepada orang tua adalah penebus dosa-dosa besar (al-kabair).” Muhammad ibn al-Mankadari berkata, “Semalam aku bergadang mendirikan shalat. Tetapi malam yang aku lewatkan itu lebih menyenangkan dari pada yang dilewatkan Umar.” (Syar A’’lam an-Nubala, V/405)

Dalam biografi Abdullah ibn ‘Awn, Abu Ishaq al-Raqi al-Hanbali menceritakan, “Suatu hari, ibunya memanggilnya (Abdullah ibn ‘Awn). Dan, ia ,menjawab panggilan itu. Namun dengan suara yang lebih tinggi. Seketika ia langsung menebusnya dengan memerdekakan dua orang hamba sahaya. “ (Ahsan al-Mahasin, karya Ibnu Ishaq al-Raqi, hal.348)

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas: “Alasan mengapa Allah menyelamatkan burung hud-hud dari hukuman Sulaiman ibn  Daud adalah semata-mata karena burung-burung itu berbakti kepada ibunya.” (Bahjah al-Majalis, karya Ibnu Abdilbar, hal.759)

Imam as-Syafi’I mengatakan, Taat kepada Allah sebagaimana Dia perintahkan, dan penuhilah hatimu dengan kehati-hatian. Taatilah bapakmu, dia telah merawatmu semasa kecil. Rendahkanlah dirimu kepada ibumu dan ridhalah ia, sebab ,menyakiti ibu merupakan salah satu dosa besar.

Anas ibn al-Nadhar al-Asyja’I menceritakan: “Pada suatu malam ibu Ibnu Mas’ud meminta air. Ibnu Mas’ud membawakannya. Tetapi ketika datang dengan air, ibunya telah terlelap tidur. Akhirnya ia duduk di dekat kepala ibunya dengan air ditangannya, hingga subuh.(Birr al-Walidayn, karya Ibnu Al-Jauzi, hal.550)

Konon, Muhammad al-Mankadari suka meletakkan pipinya di atas tanah. Kemudian di berkata kepada ibunya, “Bunda berdirilah, letakkan kakimu di atas pipiku!” (Syar A’’lam an-Nubala, V/356)

Al-Akhnasi mengatakan, “Aku mendengar Abu Bakar berkata, ‘Suatu ketika aku duduk bersama Manshur al-Mu’tamir di rumahnya. Tiba-tiba ibunya berkata kasar  kepadanya, ,Hai Manshur, Ibnu Hubayrah mau tagih hutangmu, tapi kau tak mau bayar., Mendengar itu, Manshur hanya menunduk, tidak berani memandang wajah ibunya’.” (Syar A’’lam an-Nubala, V/359)

Suatu ketika Ibnul Hasan at-Tamimi hendak membunuh kalajengking. Tetapi kalajengking itu telah lebih dahulu masuk ke dalam lubang. Dia masukkan jarinya ke lubang itu, dan kalajengking menyengatnya dari dalam. Seseorang bertanya, “Mengapa Anda lakukan itu?” Dia menjawab, “Aku takut, kalajengking itu nanti keluar dan menyengat ibuku.” (Tahdzib Sayr al-Nubala, hal.541)

Al-Ma’mun mengatakan, “Sepengetahuanku, al-Fadhal ibn Yahya adalah orang yang paling berbakti kepada bapaknya. Ketika keduanya sama-sama dijebloskan ke penjara, Yahya, bapaknya meminta air hangat karena memang hanya bisa berwudhu dengan air hangat. Pada waktu itu malam sangat dingin, dan sipir penjara tidak memberi mereka kayu bakar. Ketika Yahya tidur, al-Fadhal mengambil tempayan yang biasa dipakai memanaskan air. Diisinya tempayan itu dengan air, dan didekatkan ke api lentera. Ia memegangi tempayan itu sambil berdiri hingga Subuh.” (Uyun al-Akhbar, III/97)

Seseorang bertanya kepada Umar ibn Durr, “Apa kebaikan anakmu terhadapmu?” Dia mejawab, “Ketika aku bepergian di siang hari, dia selalu berjalan di belakangku. Ketika aku bepergian di malam hari, dia selalu berjalan di depanku. Dan, dia tidak pernah merebahkan diri di atas sebuah ranjang bila dia tahu aku ada di bawah ranjang tersebut.”  (Ibid, hal. 97 dan Ibnu Jauzi dalam kitab Birr al-Walidayn, hal.53)

Muhammad ibn Sirin menceritakan, : Pada masa Khalifah Utsman ibn ‘Affan, harga kurma mencapai 1.000 dirham. Anehnya, Usamah malah membelah kurma-kurmanya lalu mengeluarkan jummar (daging kurma yang paling lunak)-nya kemudian diberikan kepada ibunya untuk dimakan. Orang-orang bertanya keheranan, “ Mengapa engkau lakukan itu, padahal engkau tahu, sekarang harga kurma bisa mencapai 1.000 dirham?” Dia menjawab, “(Karena) ibuku memintanya. Apapun yang ibuku minta, jika aku bisa melakukannya, pasti aku penuhi.” (Al-Thabaqat, karya Ibnu Sa’d, III/527)

Menurut cerita, Zainul Abidin banyak berbakti kepada ibunya. Sampai-sampai kepadanya dikatakan, “Engkau adalah orang yang paling berbakti kepada ibu. Tapi kami belum pernah melihatmu makan sepiring berdua dengan ibumu.” Dia menjawab, “Aku tidak melakukannya. Aku takut tanganku mengambil sesuatu yang telah lebih dulu dilihat oleh ibuku. Jika itu terjadi, berarti aku telah menyakitinya.” Mendapatkan jawaban seperti itu, orang-orang berkata, “Mahasuci Allah, adakah sekarang pemuda Islam yang seperti itu?”







Tidak ada komentar:

Posting Komentar