Senin, 25 November 2013

Say NO To ZINA !!!



 “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” 
 (QS. Al Israa’ : 32)


Dari ayat tersebut di atas sudah sangat jelas adanya larangan untuk mendekati  Zina. Jelas dan tegas sekali  Allah melarang hambanya terjerumus dalam perzinaan. Untuk mendekatinya saja Allah sudah dengan tegas melarang, apalagi melakukannya.

Zina sendiri adalah termasuk pada perbuatan yang Allah murkai dan akan berujung pada siksa juga kesengsaraan di dunia dan akhirat. Lalu apakah aktivitas-aktivitas yang mendekatinya juga termasuk ? Tentu saja, salah satu pintu masuknya syaitan dalam syahwat manusia adalah melalui ZINA dan aktivistas serupa yang mendekatinya: berkhalwat, pacaran dalam segala versi, karena dari hal yang kecil dan sepele dosa perzinaan itu terjadi.

Ketika seorang laki-laki dan perempuan mampu menjaga fitrah diri dan memposisikan dirinya sesuai dengan ketentuan ilahiah, secara otomatis laki-laki dan perempuan tersebut sudah dengan benar memposisikan dirinya dalam kemuliaan. Begitu juga sebaliknya, jika seorang manusia hanya bisa menggunakan dirinya untuk keuntungan dunia; pamer kecantikan, ketampanan, kemolekan dan kegagahan tubuhnya, tidak menjaga kehormatan dan kesucian dirinya, maka tak ubah manusia tersebut adalah sampah di jalanan yang dapat dengan mudah kita buang dan kita abaikan, bahkan sampah tersebutlah yang menjadi sumber penyakit untuk orang yang berinteraksi dengan dirinya.

Bahkan dengan tegas fitnah dunia ini nyata dalam satu perbuatan yang dinamakan dengan ZINA. Siapa yang menjadi pelaku sekaligus objeknya, tiada lain adalah manusia-manusia  yang menghina dinakan dirinya di hadapan Allah dan Rasulnya.

Wanita adalah pintu masuk utama pada perzinaan. Contoh real adalah adanya kemaksiatan dalam bentuk PACARAN. Memang pelaku pacaran tidak hanya wanitanya saja akan tetapi sekaligus lelakinya juga. Tapi bila ada benteng dan batasan yang tegas dibuat dan terlahir dari kesadaran wanita terhadap perzinaan tersebut, mustahil ada lelaki yang akan berani berzina dengan wanita tersebut. Begitu juga dengan sikap laki-laki yang tegas dan menjaga, tidak mungkin ada wanita yang mampu menggoda dirinya untuk berzina. Contoh nyata adalah kisah Nabi Yusuf as yang ketampanannya dalam Al-Qur’an tidak diragukan lagi yang diajak berzina oleh Zulaikha, dan Allah menyelematkan beliau melalui iman dan ketakwaannya. 

Jadi kebohongan besar bila ada yang mengatakan perzinaan tidak bisa dihindari. 
CATET !!!

Realita yang ada disekitar kita, pezina laki-laki tentu berpasangan dengan pezina wanita. Itulah fakta tragis. Seorang wanita yang ada iman dalam dirinya, tentu paham bagaiamana harus memposisikan dirinya dihadapan Allah dan manusia. TIDAK MUNGKIN MAU BERZINA.

Wanita beriman akan dengan tegas mengharamkan dirinya terjerumus dalam kehinaan dan menjadi objek seksual (syahwat) dari seorang lelaki pezina. Bagi seorang wanita beriman, kemuliaan dan kesucian dirinya menjadi mahkota yang Allah amanahkan untuk ia jaga sebagai bentuk ketaatan dan manisnya iman, bukan sebaliknya mengganggap diri sebagai barang dagangan, yang dapat ditukar alihkan, dari satu hati ke hati yang lain, dari pelukan pezina lelaki satu ke lelaki pezina yang lain, bahkan lebih dari itu berani menjadi objek pelampiasan syahwat bejad dari  lelaki-lelaki  pezina dengan mengatas namakan CINTA dan KASIH SAYANG. Tak ubahnya seperti angkot, siapapun bisa dengan mudah masuk dan keluar hanya dengan hitungan waktu singkat dan  rupiah yang sama sekali tidak ada nilainya.

Ingatlah wahai sahabat, kesucian dan kehormatan wanita dan laki-laki beriman adalah hadiah terindah dan agung dalam sebuah pernikahan kelak. Bagaimana bisa dikatakan pernikahan itu suci bila sudah didahului dengan perzinaan, boleh jadi itu adalah sebuah keterlanjuran atau keterpaksaan dari aib yang sudah terlanjur ada. Kesucian dan kehormatan wanita beriman adalah hadiah terindah untuk laki-laki beriman dalam pernikahannya. Hal tersebut diterangkan pula oelh Allah dalam firman Nya :

“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.” 
(QS. An Nuur : 3)

Bahaya dari mendekati dan berbuat  zina ini semakin terbukti dari fakta yang terjadi di luar sana :

Bahkan dari Hasil Survei Komisi Nasional Perlindungan Anak (Tahun 2010) 62,7 persen remaja siswi SMP di Indonesia sudah tidak perawan yang sekaligus menjelaskan dengan prosentase yang sama ada pezina lelaki yang sudah tidak perjaka, Hasil lain dari survei itu menyebutkan 93,7 persen siswa SMP dan SMA pernah melakukan ciuman, 21,2 persen remaja SMP mengaku pernah aborsi, dan 97 persen remaja SMP dan SMA pernah melihat film porno.. Astaghfirullah, itu baru SMP dan data Tahun 2010, tidak terbayang hari ini di Tahun 2013, sudah berapa banyak lagi ... Na’udzubillah.

Lalu apa dampak dari perzinaan yang salah satunya adalah AKTIVITAS PACARAN ? Inilah fakta yang dapat diurai secara singkat :

1. Dosa Besar. Hilangnya iman dan rasa malu kepada Allah dan manusia
2. Rusaknya ahlak
3. Banyak wanita yang harus menanggung aib tidak perawan lagi bahkan hamil di luar nikah yang sekaligus aib yang ia timpakan juga untuk orang tua dan keluarga
4. Pembunuhan dalam bentuk ABORSI
5. Semakin besar volume menularnya penyakit kelamin
6. Kehinaan di dunia dan akhirat.


“Takutlah pada zina, karena sesungguhnya dalam zina ada enam perkara (azab), tiga di dunia dan tiga di alhirat. tiga perkara di dunia: hilangnya wibawa,pendeknya umur, dan menjadi miskin selamanya. tiga perkara di akhirat, adalah, murka Allah’ jeleknya hisaban dan siksa neraka” 
[HR Baihaqi]

Masihkah bisa mengatakan jika pacaran itu halal, pacaran itu maslahat, pacaran islami, pacaran ini dan itu yang dijadikan alasan pembenaran diri, yang nyata pacaran adalah jalan masuk yang paling empuk untuk perzinaan. Jangankan berzina fisik dalam bentuk menyentuh bahkan melakukan hubungan suami istri, sekadar memikirkannya saja sudah termasuk zina akal/pikiran.  Dan ingatlah Zina adalah salah satu dosa besar.

Sudah cukup membodohi diri bahwa pacarannya islami, cinta karena Allah. Sadarlah tidak ada cinta karena Allah berbaur dengan maksiat perzinaan. Bila cinta kita karena Allah, tentu kita tidak akan rela diri kita dan orang yang kita sayangi menjadi budak syahwat.

Wallahu ‘alam
Semoga bermanfaat


Salam Ukhuwah
YMYB

Kamis, 21 November 2013

Generasi Pencemburu


Sebelum saya menulis, saya sempat berpikir bahwa ada apa dengan generasi kita saat ini, mengapa fenomena kemungkaran dan kemaksiatan disekitar kita ini semakin hari semakin marak, ada apa gerangan ?

Kemungkaran dan kemaksiatan semakin hari semakin merajela, tak kenal batas umur dan tempat. Yang lebih miris adalah semakin tumbuh kembangnya kemaksiatan yang dilakukan oleh sebagian besar orang berusia dini, bahkan mungkin jika dalam kategori psikologis belum pantaslah seorang anak sudah bertitel tersangka atau yang setara dengan itu.

Sedangkan bila kita menengok generasi Islam silam yang hidup pada zaman Rasulullah atau Sahabat yang begitu hebat dan cemerlang, rasanya malu nian kita untuk bercermin. Jomplang banget, ibarat pepatah jauh dari bumi ke langit ...

Lalu apa sebenarnya yang membuat generasi khususnya pemuda pada zaman Rasulullah dan Sahabat tersebut begitu berbeda dengan generasi pemuda saat ini ???

Jawabannya adalah karena Generasi Pemuda pada waktu itu  ditumbuh kembangkan dengan “Akhlak Pencemburu”. 

Lho kok pencemburu???  Eiiits cemburu yang dimaksud adalah karakter/Sifat ketidakrelaan diri untuk terjerumus dalam sikap dan perbuatan yang tidak Allah Ridhai, baik mencumburui diri sendiri maupun cemburu terhadap orang yang ada disekitarnya. Dan cemburu terhadap orang-orang Shalih atas keshalihan dan amal-amal shalihnya.

Generasi itulah yang akan merasakan kegerahan dan ketidaknyamanan pertama kali bila diri atau orang yang ada disekitanya berbuat maksiat dan makar terhadap Allah, Rasul dan Islam. Generasi itulah yang akan menjadi orang pertama yang menolak kemungkaran/kemaksiatan, baik dalam tindakan, lisan maupun dalam hati mereka melalui doa yang dipanjatkan.
Rasa “cemburu” karena Allah itu merupakan bukti nyata dari kasih sayang Allah kepada hambanya. Kemudian yang menjadi pertanyaan, kepada siapa layaknya kita merawat kecemburuan, kapan saat kita benar-benar mampu menikmati bahwa cemburu itu merupakan wujud salah satu dari kenikmatan iman?

Cemburuilah mereka manusia-manusia yang sudah mendapatkan predikat keshalihan, ditiap sepertiga malam terahir mereka senantiasa bangun dengan segala cara upaya mencurahkan segenap rasa kecintaan kepada Allah, dan di siang hari mereka berjihad dalam langkah mereka ; mencari nafkah, mencari ilmu, berdakwah dsb.

Lalu perlukah kita menjadi generasi pencemburu? Karena kita belum mampu untuk melakukan seperti yang telah orang-orang shalih itu lakukan. Kalau Allah saja cemburu jika kita minta sesuatu kepada selain-Nya, kenapa kita tidak cemburu jika Allah memberikan anugerah keshalihan kepada para wali-Nya, kenapa kita tidak cemburu ketika hak-hak Allah, Rasul dan Islam tidak tertunaikan atau terdustakan ?

Inilah salah satu perwujudan cemburu yang karena Allah.
Lalu adakah sifat “Pencemburu” yang ditumbuh kembangkan pada diri setiap pemuda kita saat ini ?

Dan tentunya menjadi PR kita semua untuk muahasabah bersama. Ingatlah Sahabat tak ada alasan bagi kita untuk membiarkan kemungkaran/kemaksiatan dalam bentuk sekecil apapun, bahkan walau hanya menolak dalam hati saja.
Rasulullah s.a.w. :

"Barangsiapa di kalangan kamu melihat kemungkaran, maka cegahlah ia dengan tangan. Jika tidak tidak mampu, maka cegahlah ia dengan lisan. Jika itu juga di luar kemampuannya, maka cegahlah dengan hati Sesungguhnya (mencegah dengan hati) selemah-lemah iman." (HR.  Muslim)
Dan “Jangan biarkan setiap detik kita lepas dari kebaikan” sebagai bentuk nyata kita untuk menjadi generasi pencemburu, yang senantiasa merindu kasih sayang Allah.
Allah Ta'ala berfirman,
"Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat), dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya, dan manusia bertanya: "Mengapa bumi (menjadi begini)?", pada hari itu bumi menceritakan beritanya, karena sesungguhnya Rabbmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu) kepadanya. Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam keadaan bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka. Barangsiapa yang mengerjakan kebaikansekecil apa pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatansekecil apa pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula." (QS. Al Zalzalah: 1-8)

Semoga bermanfaat :)


Wallahu a’lam


Salam Ukhuwah
YMYB






Rabu, 20 November 2013

Ketika Rezeki hanya Disama-dengankan Materi





Teringat beberapa waktu lalu, seorang teman datang padaku dan menyampaikan rasa suka citanya.

“Alhamdulillah, seneng banget gue... akhirnya di tahun ini gaji gue naik lho ri, emang rezeki ga kemana ...” Terlihat jelas air muka yang berseri-seri. 

Memang tak ada yang salah dengan ungkapan suka cita di atas, akan tetapi mari kita kaji secara lebih jauh. Lebih tepatnya bukan pada contoh kasus di atas, banyak dan lebih banyak lagi terjadi pada diri dan sekitar kita.

Disadari atau tidak, yang terjadi pada diri kita dan sekitar kita selama ini adalah seolah mendefinisikan bahwa rezeki itu adalah hanya dalam bentuk uang atau materi. Kita seolah menganggap bawah Allah melimpahkan rezekinya kepada kita, ketika kita berlimpah dan berkecukupan uang atau materi. Ketika kita tidak pernah kekurangan apapun, ketika kita mampu memenuhi segala kebutuhan kita karena tersedianya materi. Bahkan ketika seorang miskin pun mampu tersenyum dan bahagia karena rezeki berupa uang yang diterimanya dari hasil bekerja atau dalam bentuk zakat dan sedekah. 

Dan yang lebih memprihatinkan adalah ketika dengan terang-terangan kita meminta kepada Allah dalam doa kita, memohon rezeki dengan penafsiran yang dangkal berupa berlimpahnya harta dan kekayaan. Salahkah? Tentu tidak, namun yang perlu kita garis bawahi adalah definisi rezeki yang dimaksud.

Ketika dari awal diri kita hanya membuat kotak definisi rezeki itu adalah sebatas materi, maka secara otomatis dunia ini hanya akan berukuran dan berbentuk kotak tersebut. Sehingga siapa saja yang ada di dalam kotak tersebut akan merasa sempit dan dangkal. Karena sudah jelas materi hanya sebagian kecil dari rezeki yang Alloh anugerahkan kepada makhluknya.

Padahal bila kita cermati dan kaji lebih dalam, definisi rezeki itu sangatlah luas, meliputi seluruh karunia Allah yang tanpa batas dan jelas tak dapat kita hitung tentunya.

Banyak dari diri kita lalai dalam menyadari hal ini. Tak usah jauh kita mencari kamus untuk mendefiniskan rezeki yang sesungguhnya, tengoklah diri kita dan seluruh yang ada pada diri kita. Pernahkah kita mampu untuk mengatur proses udara yang kita hirup, pernahkan kita mampu mengendalikan proses kerja jantung dan aliran darah kita, pernahkah kita sedikit saja memikirkan semua yang kita lihat, yang kita dengar, yang kita rasakan atas semua indera yang kita miliki. Jika bukan rezeki lalu akan kita definisikani apa itu semua.

Bahkan dari sekian rezeki yang sering dilupakan oleh manusia bahkan oleh kita yang notabene mengaku beriman adalah adanya rezeki luar biasa berupa kesehatan, waktu atau kesempatan, dan yang sangat luar biasa adalah adanya rezeki iman dan islam.
 
Karena tidak semua orang dikaruniakan keislaman. Bahkan di luar sana banyak sekali orang-orang yang berjuang demi keislamannya dengan bertaruh dengan jiwa dan raganya, jauh berbeda dengan kita yang sejak lahir, bahkan keluarga besar kita adalah muslim. Inilah rezeki yang sering kita abaikan.

Manusia seringkali mencemaskan dan mengejar yang telah Allah jaminkan atas dirinya dibanding bersusah payah mengejar sesuatu yang belum jelas untuk dimilikinya. Apa yang sudah jelas itu, yaitu ketetapan rezeki penghidupan, jodoh, dan kematian. Sedangkan yang belum tentu jadi milik dirinya adalah keberkahan dari rezekinya, keshalehan diri dan pasangannya kelak/keluarganya, keselamatan diri sebelum dan  setelah melalui proses kematiannya.

Bahkan Allah sampai 31 kali mengingatkan kita dengan firmannya :

“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” 
QS Ar-Rahman. (QS.55)

Adakah kita bersyukur atas semua rezeki itu, atau hanya terpentok simbol angka – angka semata ???

Maka inilah janji Allah dalam firmannya :

“Sesungguhnya jika (kamu) bersyukur pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu. Dan jika kamu mengingkari (nikmat-KU) maka sesungguhnya azab-KU akan sangat pedih". 
(QS. Ibrahim ayat 7)

Maka kita jangan merasa heran, bila banyak manusia yang tidak pernah puas dengan apa yang telah dimilikinya, karena ia menilai semua itu hanya berdasarkan kotak yang bernama materi. Kesempitan, keserakahan bahkan kekufuran adalah bagian yang dihasilkan dari pemikiran dangkal tentang rezeki yang disama dengankan MATERI.

Mari kita berfikir dan mengolah potensi iman kita untuk semakin tajam menilai dan mensyukuri karunia Allah SWT, bahwasannya bukan sekedar kotak materi semata.
Semoga bermanfaat ... :)









Selasa, 19 November 2013

"Jangan biarkan setiap detik kita lepas dari kebaikan"






Sesungguhnya jika Allah Ta'ala menghendaki kebaikan bagi seorang hamba maka dia dikaryakannya. Para sahabat lalu bertanya tentang sabda Nabi Saw tersebut, "Bagaimana dikaryakannya itu, ya Rasulullah?" Nabi Saw menjawab, "Diberinya taufiq untuk beramal sholeh sebelum wafatnya." (Mashabih Assunnah)

Sahabat, bila kita cermati hadits di atas jelas sudah pesan Rasulullah tersebut, bahwa kebaikan yang dimaksud oleh Allah adalah amal sholeh yang senantiasa menjadi langkah seorang mu’min dalam mengisi kehidupannya sampai ajal menjemput dirinya, tidak ada perbuatan lain. Dalam sebuah kebaikan sudah berang tentu ada nilai kemanfaatan yang diusahakan dan dicapai, baik untuk dirinnya maupun untuk orang lain.

Mereka yang melakukan kebaikan dan beramal shaleh tersebut sudah barang tentu oarng baik dalam pandangan Allah, karena kebaikan yang dilakukannya didasarkan kepada Taufik, tuntunan dan perintah Allah SWT. Kebaikannya adalah definitif atau memiliki arti dan makna yang disandarkan kepada Al-Qur’an dan Hadits.

Lalu bagaimanakah sebenarnya orang baik tersebut ?

Seorang sahabat bertanya, "Ya Rasulullah, yang bagaimanakah orang yang baik itu?" Nabi Saw menjawab, "Yang panjang usianya dan baik amal perbuatannya." Dia bertanya lagi, "Dan yang bagaimana orang yang paling buruk (jahat)?" Nabi Saw menjawab, "Adalah orang yang panjang usianya dan jelek amal perbuatannya."
 (HR. Ath-Thabrani dan Abu Na'im)

Semakin jelas untuk kita sahabat, jika usia yang Allah karuniakan kepada kita bukanlah sesuatu yang harus kita sia-siakan, akan tetapi menjadi jembatan waktu kita untuk terus berinvestasi amal sholeh sebagai bentuk persiapan untuk kehidupan yang kekal abadi.

Lalu akankah setiap detik kita berlalu tanpa sedikitpun manfaat dan makna didalamnya? Tidak, itu bukanlah kebiasaan orang mu’min.  Seorang mu’min tahu pasti kebutuhan dirinya atas waktu yang ada pada dirinya. Kerugian besar jika sedetik pun dilalui tanpa berbuat apa-apa atau hanya diisi dengan kesia-siaan belaka.

Sekecil apapun bentuk dari kebaikan yang kita lakukan tentulah ada nilai dimata Allah, selama hal tersebut hanya ditujukan untuk keridhoan Allah semata. Jangan enggan kita untuk berbuat kebaikan meski sekedar tersenyum kepada saudaramu, atau mengucap salam. Itulah kebaikan. Dan ingatlah kebaikan yang kita lakukan Insyaa Allah akan berdampak kebaikan pula, terus dan terus seperti itu.

Banyak sekali kebaikan disekitar kita yang bisa kita lakukan, apalagi bagi seorang mu’min adanya kewajiban untuk beramar ma’ruf dan bernahi mungkar adalah jalan yang jelas.

Jangan pernah merasa berat dan ragu untuk berbuat kebaikan sahabat, karena sesungguhnya itulah kasih sayang Allah kepada kita. Kebaikan. Bahkan Allah sudah menjamin bahwa kebaikan yang kita lakukan tentulah akan mendatangkan pahala, seperti firman Allah berikut :

“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.”
(QS. Al-Baqarah : 110)