Bisakah Kita Meniru Akhlak Orang-orang
Shaleh Terdahulu?
Ibnu
Umar pernah berkata kepada seseorang,
“Apakah engkau takut masuk neraka dan ingin masuk surga?” “Tentu,” jawab
laki-laki itu. Kata Ibnu Umar, “Kalau begitu, berbaktilah kepada ibumu. Demi
Allah, kalau engkau berbicara kepadanya dengan lembut dan memberinya makan,
niscaya engkau akan masuk surga, selama hal-hal yang menyebabkanmu masuk neraka
engkau hindari.” (Jami’al Ulum wa
al-Hikam, II/176)
Dawud
ibn Qays mengatakan’ “ Abu Hurairah meriwayatkan kepadaku bahwa setiap kali mau
meninggalkan rumahnya, setelah mengenakan pakainnya, Abu Hurairah selalu
menghadap ibunya seraya berkata, ‘Assala’mu’alaykum
wa rahmatullah wa barakatuh (Semoga engkau mendapatkan keselamatan, rahmah,
dan berkah dari Allah). Semoga engkau mendapat balasan yang baik dari Allah
karena aku, seperti kebaikan yang aku dapatkan tatkala engkau merawatku semasa
kecil.’ Ibunya menjawab, ‘Sama-sama, wahai anakku. Mudah-mudahan engkau mendapat
balasan yang baik dari Allah karena aku, seperti yang aku rasakan tatkala
engkau berbakti kepadaku setelah aku lanjut usia.’ Setelah itu barulah Abu
Hurairah pergi meninggalkan rumahnya. Ketika pulang kata-kata yang indah tersebut
keluar lagi dari mulutnya.’” (Diriwayatkan
oleh al-Bukhari dalam Al-Adab al-Mufrad – hadits hasan)
Sulaiman
at-Tamimi meriwayatkan dari ibnu Mas’ud yang maskudnya adalah Sa’d: : Aku
berkata kepada Ibnu Abbas, ‘Aku ini seorang laki-laki yang punya semangat
tinggi untuk berjihad. Semua orang dari kaumku pernah ikut berjihad, kecuali orang tuaku. Orang tuaku (baca:
bapakku) enggan untuk berjihad.” Mendengar hal itu, Ibnu Abbas berkata, “Bagi
seseorang yang masih memiliki orang tua, jika setiap bangun pagi dia
memperlakukan mereka dengan baik (Sa’d memotong pembicaraannya dengan bertanya,
‘Kepada mereka berdua?’ ‘Ya,’ jawab Ibnu ‘Abbas) niscaya Allah membukakan dua
pintu surga untuknya. Jika menjelang sore dia masih memperlakukan mereka dengan
baik, niscaya Allah membukakan untuknya dua pintu lagi. Apabila orang tuanya
hanya tinggal satu, dan setiap pagi dia memperlakukannya dengan baik, niscaya
Allah membukakan untuknya satu pintu surga. Dan jika sore harinya dia
memperlakukannya dengan baik pula, maka Allah akan membukakan untuknya satu
pintu lagi. Jangan membuat salah satu diantara mereka marah. Allah ‘Azza wa Jalla’ akan meridhainya, bila
orang tuanya ridha.” (Diriwiyatkan oleh
al-Bukhari dalam Al-Adab al-Mufrad; Abdurrazaq dalam Al-Mushannaf, XI/135; dan
Hanad dalam az-Zuhd hal.993)
Mundzir
ats-Tsauri meriwayatkan, “Muhammad ibn al-Hanafiyah tidak sungkan-sungkan untuk
merapikan rambut ibunya.” (Al-Birr
wash-Shillah, 34. Perawi-perawi cerita ini tsiqah/terpercaya) Abdullah ibn
Ja’far ibn Khaqan al-Marwazi-Muhammad ibn Basyir ibn Utsman-mengatakan,
“Setelah menghimpun hadits yang ada di Bashrah, aku berencana pergi. Namun
ibuku tidak menizinkan. Aku pun menurutinya. Ternyata itu membawa berkah
bagiku,” (Syar A’’lam an-Nubala,
XII/145)
Ja’far
al-Khalid mengatakan, “Ahmad ibn ‘Ali ibn Muslim, yang dikenal dengan nama
al-Abrar, salah seorang ulama hadits di Baghdad,
adalah salah satu di antara orang yang paling zuhud. Suatu kali dia meminta
izin kepada ibunya untuk pergi menemui Qutaibah. Ibunya tidak mengizinkan, dan
setelah itu meninggal. Tidak lama kemudian, al-Abrar pergi ke Khurasan dan
melanjutkan ke Balkha. Sesampainya di sana,
ternyata Qutaibah telah meninggal. Dengan meninggalnya Qutaibah, orang-orang
menjadi kagum kepadanya. Katanya, ‘Itulah buah dari ilmu. Jika aku disuruh memilih,
maka yang akan kupilih adalah keridhaan ibuku.’” Syar A’’lam an-Nubala, XIII/443)
Zaid
mengatakan, “Aku bertanya kepada Hasan al-Bashri, ‘Apa permohonan baik seorang
ibu untuk anaknya?’ Dia menjawab, ‘Keselamatan.’ Aku bertanya lagi, ‘Kalau
begitu apa permohonan jeleknya?’ Dia menjawab, ‘Kecelakaannya.’”
Suatu
kali Ibnu ‘Abbas ditanya tentang seorang suami yang membunuh istrinya, “Apa
bentuk taubat yang cocok baginya?” Dia menjawab, “Jika dia masih mempunyai
orang tua, berbaktilah kepada mereka. Mudah-mudahan dengan itu Allah
mengampuninya.” Jawaban serupa dia berikan kepada seorang wanita yang
mempelajari sihir, yang menanyakan apa bentuk taubat yang cocok untuknya. (Bahjah al-Majalis, hal.785. Jawaban serupa
juga diberikan Umar – Jami’al Ulum wa al-Hikam, II/184)
Makhul
al-Tabi’I al-Jalil mengatakan, “Berbakti kepada orang tua adalah penebus
dosa-dosa besar (al-kabair).”
Muhammad ibn al-Mankadari berkata, “Semalam aku bergadang mendirikan shalat.
Tetapi malam yang aku lewatkan itu lebih menyenangkan dari pada yang dilewatkan
Umar.” (Syar A’’lam an-Nubala, V/405)
Dalam
biografi Abdullah ibn ‘Awn, Abu Ishaq al-Raqi al-Hanbali menceritakan, “Suatu
hari, ibunya memanggilnya (Abdullah ibn ‘Awn). Dan, ia ,menjawab panggilan itu.
Namun dengan suara yang lebih tinggi. Seketika ia langsung menebusnya dengan
memerdekakan dua orang hamba sahaya. “ (Ahsan
al-Mahasin, karya Ibnu Ishaq al-Raqi, hal.348)
Diriwayatkan
dari Ibnu ‘Abbas: “Alasan mengapa Allah menyelamatkan burung hud-hud dari
hukuman Sulaiman ibn Daud adalah
semata-mata karena burung-burung itu berbakti kepada ibunya.” (Bahjah al-Majalis, karya Ibnu Abdilbar,
hal.759)
Imam as-Syafi’I mengatakan, Taat
kepada Allah sebagaimana Dia perintahkan, dan penuhilah hatimu dengan
kehati-hatian. Taatilah bapakmu, dia telah merawatmu semasa kecil. Rendahkanlah
dirimu kepada ibumu dan ridhalah ia, sebab ,menyakiti ibu merupakan salah satu
dosa besar.
Anas
ibn al-Nadhar al-Asyja’I menceritakan: “Pada suatu malam ibu Ibnu Mas’ud
meminta air. Ibnu Mas’ud membawakannya. Tetapi ketika datang dengan air, ibunya
telah terlelap tidur. Akhirnya ia duduk di dekat kepala ibunya dengan air ditangannya,
hingga subuh.(Birr al-Walidayn, karya
Ibnu Al-Jauzi, hal.550)
Konon,
Muhammad al-Mankadari suka meletakkan pipinya di atas tanah. Kemudian di
berkata kepada ibunya, “Bunda berdirilah, letakkan kakimu di atas pipiku!” (Syar A’’lam an-Nubala, V/356)
Al-Akhnasi
mengatakan, “Aku mendengar Abu Bakar berkata, ‘Suatu ketika aku duduk bersama
Manshur al-Mu’tamir di rumahnya. Tiba-tiba ibunya berkata kasar kepadanya, ,Hai Manshur, Ibnu Hubayrah mau
tagih hutangmu, tapi kau tak mau bayar., Mendengar itu, Manshur hanya menunduk,
tidak berani memandang wajah ibunya’.” (Syar
A’’lam an-Nubala, V/359)
Suatu
ketika Ibnul Hasan at-Tamimi hendak membunuh kalajengking. Tetapi kalajengking
itu telah lebih dahulu masuk ke dalam lubang. Dia masukkan jarinya ke lubang
itu, dan kalajengking menyengatnya dari dalam. Seseorang bertanya, “Mengapa
Anda lakukan itu?” Dia menjawab, “Aku takut, kalajengking itu nanti keluar dan
menyengat ibuku.” (Tahdzib Sayr
al-Nubala, hal.541)
Al-Ma’mun
mengatakan, “Sepengetahuanku, al-Fadhal ibn Yahya adalah orang yang paling
berbakti kepada bapaknya. Ketika keduanya sama-sama dijebloskan ke penjara,
Yahya, bapaknya meminta air hangat karena memang hanya bisa berwudhu dengan air
hangat. Pada waktu itu malam sangat dingin, dan sipir penjara tidak memberi
mereka kayu bakar. Ketika Yahya tidur, al-Fadhal mengambil tempayan yang biasa
dipakai memanaskan air. Diisinya tempayan itu dengan air, dan didekatkan ke api
lentera. Ia memegangi tempayan itu sambil berdiri hingga Subuh.” (Uyun al-Akhbar, III/97)
Seseorang
bertanya kepada Umar ibn Durr, “Apa kebaikan anakmu terhadapmu?” Dia mejawab,
“Ketika aku bepergian di siang hari, dia selalu berjalan di belakangku. Ketika
aku bepergian di malam hari, dia selalu berjalan di depanku. Dan, dia tidak
pernah merebahkan diri di atas sebuah ranjang bila dia tahu aku ada di bawah
ranjang tersebut.” (Ibid, hal. 97 dan Ibnu Jauzi dalam kitab Birr al-Walidayn, hal.53)
Muhammad
ibn Sirin menceritakan, : Pada masa Khalifah Utsman ibn ‘Affan, harga kurma
mencapai 1.000 dirham. Anehnya, Usamah malah membelah kurma-kurmanya lalu
mengeluarkan jummar (daging kurma
yang paling lunak)-nya kemudian diberikan kepada ibunya untuk dimakan.
Orang-orang bertanya keheranan, “ Mengapa engkau lakukan itu, padahal engkau
tahu, sekarang harga kurma bisa mencapai 1.000 dirham?” Dia menjawab, “(Karena)
ibuku memintanya. Apapun yang ibuku minta, jika aku bisa melakukannya, pasti
aku penuhi.” (Al-Thabaqat, karya Ibnu
Sa’d, III/527)
Menurut
cerita, Zainul Abidin banyak berbakti kepada ibunya. Sampai-sampai kepadanya
dikatakan, “Engkau adalah orang yang paling berbakti kepada ibu. Tapi kami
belum pernah melihatmu makan sepiring berdua dengan ibumu.” Dia menjawab, “Aku
tidak melakukannya. Aku takut tanganku mengambil sesuatu yang telah lebih dulu
dilihat oleh ibuku. Jika itu terjadi, berarti aku telah menyakitinya.”
Mendapatkan jawaban seperti itu, orang-orang berkata, “Mahasuci Allah, adakah
sekarang pemuda Islam yang seperti itu?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar